TENTANG BEIJING, DAN KITA

Aku masih saja duduk santai menunggu waktu penerbangan pesawat  yang ku tumpangi dengan tujuan Jakarta – Beijing, waktu tempuh yang dibutuhkan adalah 6-7 jam langsung tanpa transit di Negara atau kota lainnya.

Beijing merupakan kota terbesar kedua di Tiongkok setelah Shanghai dari segi populasi perkotaan dan merupakan pusat politik, budaya dan pendidikan Negara. Bejing adalah kota markas dari sebagian besar perusahaan BUMN terbesar Tiongkok dan pusat utama jalan raya nasional, jalan tol, jalur kereta api, dan jaringan rel kereta cepat.

Sejarah kota Beijing dimulai sejak tiga millennium yang lalu. Sebagai ibu kota yang terakhir dari Empat Ibu Kota Kuno Agung Tiongkok, Beijing telah menjadi pusat politik Negara selama delapan abad yang lalu. Kota ini, terkenal dengan istana, kuil, taman, kebun, makam, tembok dan gerbang, dan pusaka seninya serta Universitas telah membuatnya menjadi pusat budaya dan seni di Tiongkok. Dan ini adalah perjalanan pertama ku menuju tempat pusat budaya dan seni di Tiongkok, yaitu Beijing.

Beberapa bulan yang lalu, aku mendapatkan sebuah tawaran hebat dari salah satu penerbit besar di Negara ku, tawaran untuk menuai cerita tentang hebatnya kota Beijing, terutama tentang seni dan budayanya yang terbilang adalah pusat di dunia.

Awalnya aku menolak tawaran ini, karena bisa dikatakan bahwa ini adalah tawaran hebat yang ku terima sebagai seorang penulis pemula dengan prestasi karya pertama ku yang naik berkali-kali kepercetakan.

“Kamu suka tantangan bukan, inilah saatnya untuk menguji seberapa hebat kemampuan mu!kata rum kepada ku tempo lalu, saat aku bercerita tentang tawaran ini.

“Bagaimana jika aku gagal rum, tabungan ku akan habis untuk mengganti semua biaya selama aku di Beijing nanti”

“Itu artinya, setelah kamu mencoba, kamu tidak boleh gagal!”

Ya, itulah kata-kata rum yang membekas dalam ingatan ku.Yang membuat ku akhirnya memutuskan untuk menerima tawaran ini. Selain itu, sejak kecil aku sudah berikrar untuk tidak bekerja seperti teman-teman ku pada umumnya. Mereka dibuat sibuk dengan rutinitas senin sampai dengan jum’at untuk menghabiskan waktu di kantor, menghabiskan waktu mulai dari pukul 09.00 wib sampai dengan 17.00 wib, berpakaian resmi setiap harinya, lalu menikmati malam dengan beristirahat setelah bekerja seharian. Entah mengapa, saat teman-teman ku bercita-cita menjadi pegawai tetap disebuah perusahaan ternama, aku malah sama sekali tidak berselera tentang hal itu.

Dulu, dalam benak ku hanya satu hal yang ku pikirkan. Saat aku bekerja, aku dapat menikmati waktu seperti layaknya aku sedang berlibur, tanpa terikat dengan waktu yang ditetapkan secara khusus. Aku selalu membayangkan hal itu setiap hendak tidur, dan menceritakannya pada bapak.

“Tidak usah muluk-muluk, jadi PNS saja sudah menjamin hidup mu”

Itulah kata yang selalu bapak lontarkan setiap kali aku bercerita tentang mimpi-mimpi ku, dan saat aku mendengar hal itu, seakan semangat ku bangkit lebih hebat dari biasanya. Setiap bapak berpikir bahwa dengan menjadi PNS adalah hal terbaik dalam hidup, maka pada saat itu pula aku selalu berjanji untuk tidak menjadi seorang PNS. Mungkin sebagian orang akan berpikiran hal yang sama dengan bapak, lalu sebagian lagi akan ada juga yang berpikir sama seperti diri ku. Itulah hebatnya pemikiran manusia, selalu tidak sama. Dan masing-masing tentu memiliki alasan tersendiri.

“Ladies and gentelmen, Well come aboard XXX Indonesia on flight number TX1201 destination to Bejing. The commander of this flight is Capten Budi, assisted by frist officer Ayu Mustika and I am Lisa your supervisor flight attendant today. Flying to Beijing will take 7 hours and 25 mnts. For safety reason your luggage must place at underneath the seat in front of you or in an overhead bin. Please take your seat and pasten your seat belt and also make sure your an emergency exit” kata seorang pramugari.

Aku segera bersiap saat pesawat akan segera terbang mengantarkan para penumpang pada tempat tujuannya. Cuaca sangat cerah, membuat samudra menjadi sangat indah, aku memandang dengan teliti setiap keindahan yang ku saksikan dengan dua bola mata.

“Ah ini baru dunia, entah seperti apa surga-Nya” gumam ku dalam hati.

Lalu, saat aku menikmati keindahan samudra, tiba-tiba aku teringat tentang perkataan rum tempo lalu.

“Kalau saja tiba-tiba jodoh mu datang, apa yang akan kamu lakukan?” kata rum kepada ku.

“Ah yang benar saja jodoh ku datang secara tiba-tiba” aku menyangkal perkataannya.

“Hey siapa bilang jodoh tidak bisa datang tiba-tiba. Kamu pikirkan saja tentang niat mu yang tidak ingin berpacaran. Lalu memutuskan untuk merasakan ta’aruf saja nanti. Bisa saja ada seorang laki-laki yang datang menemui ayah mu dan melamar mu” jelas panjang lebar rum kepada ku.

Aku hanya menghela nafas, lalu menyeka keringat yang mulai bercucuran. Entah kenapa, setiap kali rum berkata tentang jodoh, jantung ku seakan berdegup kencang, bukan tentang kegugupan mengenai jodoh ku nanti, hanya saja rawut wajah bapak yang sedikit menyeramkan selalu membuat nyali ku ciut untuk membahas tentang jodoh kepadanya.

Bercerita soal bapak, aku selalu ingat dengan anak-anak ayam yang bapak pelihara, lalu saat mereka tumbuh menjadi induk ayam, dengan gesit ibu akan memotongnya tanpa sepengetahuan bapak. Aku selalu berpikir, bapak dan ibu memiliki sifat yang sangat berbeda, tapi mereka bisa mempertahankan sebuah keluarga hingga adzal menjemput mereka.

Tiba-tiba aku mulai melirik kearah sekitar ku, memperhatikan tiap-tiap penumpang yang ada didalam pesawat, mungkin saja jodoh ku ada di pesawat ini. Haha.

 

***

12 Desember 2008, pertama kali dalam sejarah aku menginjakan kaki di kota Beijing untuk menuai sebuah cerita, yang entah akan berhasil atau malah sebaliknya. Aku mulai menyusuri tiap-tiap sudut tentang Beijing, menanyakan banyak hal kepada pemandu ku bernama Dea, seorang wanita muda asal Indonesia yang kemudian pindah dan menetap di Beijing karena ikut dengan suaminya. Cerita tentang kehidupan Dea sangat menarik, terutama tentang pertemuan ia dengan suaminya di kota ini.

Inikah yang dinamakan takdir, jalan yang sudah tertulis, sejauh apapun kaki melangkah, jika sudah waktunya untuk bertemu dan bersama, maka tidak akan ada yang mampu untuk menghalanginya, seperti halnya Dea dan Niko, pasangan suami istri yang menikah pada usia 21 (dua puluh satu) tahun.

“Indonesia dan Beijing, cerita mu sangat menarik dee” kata ku setelah mendengar cerita dea.

“Ya, sebagian orang mungkin tidak akan percaya tentang perjalanan kami. Tapi inilah kehidupan, yang terkadang ada saja hal-hal yang tidak pernah kita sangka-sangka”

“Kita sudah sampai” Dea menunjuk kearah sebuah bangunan.

Aku terdiam, seakan takjub dengan bukti sejarah yang masih berdiri kokoh. 300 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Islam sudah dibawa jauh sampai ke Beijing, Tiongkok. Masjid yang berumur 1.000 tahun dapat dilihat oleh banyak wisatawan yang berkunjung ke kota Beijing. Dan saat ini, aku tidak sekedar mendengar cerita tentang Masjid Niu Jie.

Masjid Niu Jie adalah masjid terbesar di kota Beijing, terletak di Niu Jie Stret, sebuah kawasan muslim di tengah kota Bejing. Arsitektur masjid ini terbilang sangat mirip bangunan-bangunan Tiongkok pada umumnya, mulai dari tiang-tiang bangunan yang mempertahankan budaya khas Tiongkok, dan temboknya yang memiliki warna merah lengkap dengan cat biru, hijau dan emas di bagian atas  tiang. Tetapi tetap memiliki nuansa-nuansa Arab dan Persia pada bagian dalam.

Selain itu, terlihat pula tulisan kaligrafi di papan-papan di atas pintu masuk. Ada yang bertuliskan “Assalamualaikum” dan “Bismillahirrohmannirrohim” yang terpampang di bangunan masjid.

Selain masjid Niu Jie, aku pun diajak mengunjungi beberapa tempat lainnya yang menarik, seperti halnya taman Beihai, taman Jingsang, tembok besar Cina, istana terlarang, danau Shichahai, dan Istana musim panas. Ah, aku tidak pernah menyangka bahwa pekerjaan ku akan semenyenangkan ini. Rasanya, setiap langkah kaki di kota Beijing, seperti banyak sekali ribuan kata-kata yang mulai tersusun rapih dalam ingatan.

“Tempat mana yang paling kamu sukai?” kata Dea kepada ku sembari menikmati sore dengan segelas kopi panas buatannya.

“Hmm, Danau Shichahai dan Istana Musim Panas” kata ku sembari sedikit membayangkan keindahannya.

Istana musim panas, istana yang dibangun di dekat danau buatan seluas 300 hektar, disekitar istana juga ditanami pepohonan hijau. Selain itu, istana ini juga dibangun di dekat perbukitan, sehingga posisi danau, istana dan bukit menjadi segaris lurus. Menurut filosofi orang Tionghoa, posisi ini akan membawa keberuntungan tersendiri.

Shichahai menghadirkan sebuah danau menakjubkan di tengah Bejing, danau besar yang memiliki pemandangan indah dan unik. Sebuah esai terkenal, yang ditulis di zaman kuno, mengatakan bahwa selama musim semi danau Shicahahai akan terlihat seperti danau barat di Hangzhou. Danau ini memiliki luas sekitar 147 hektar, dibalut dengan pemandangan perbukitan yang mengelilinginya.

“Aku akan mengunjungi Beijing lagi, untuk kembali menikmati sunset di danau Shicahahai dengan orang yang akan menjadi bagian dari pada cerita ku” kata ku kepada Dea sembari tersenyum kecil.

 

***

Tiga bulan berlalu, rasanya rindu ku terhadap kota Beijing seakan memuncak. Pagi yang cukup cerah, aku mulai bersiap merapihkan naskah ku, naskah yang akan menentukan berhasil atau malah sebaliknya. Tapi, setelah menikmati langsung kota Beijing, aku tidak akan pernah menyesal jika kemudian aku gagal.

“Untuk mu” kata rum kepada ku, sembari menyodorkan map coklat berukuran sedang.

“Apa?”

“Seorang pria datang menemui kami tempo lalu, ia bermaksud melamar mu. Dan ini data dirimiliknya”

Rum adalah keponakan ku, ia sangat hapal betul semua tentang ku. Setelah bapak dan ibu tiada, aku memutuskan untuk hidup dengan paman dan bibi. Keduanya sudah seperti orang tua ku sendiri, dan rum sendiri sudah ku anggap sebagai adik kesayangan ku.

“Seorang pilot pada penerbangan pesawat XXX  Indonesia dengan tujuan Jakarta – Beijing”

Aku terdiam seribu bahasa saat membaca profil milik laki-laki tersebut, laki-laki yang bermaksud untuk melamar ku. Lalu ku amati foto miliknya, dan ku baca berkali-kali semua tentangnya yang tersusun rapih pada selembar map berwarna coklat.

Tapi inilah kehidupan, yang terkadang ada saja hal-hal yang tidak pernah kita sangka-sangka”

Benar kata Dea, sebagian orang mungkin tidak akan pernah percaya pada jalan hidup yang kita lalui, dan saat ini aku mengerti tentang hal yang terkadang banyak orang berkata “Tidak mungkin”.

 

***

“Buku mu sudah terbit dek, selamat ya” terdengar suara khas dibalik telepon genggam milik ku.

Budi, seorang laki-laki yang saat ini menjadi bagian dari pada cerita ku. Ia menemui keluarga ku, dan menceritakan semua tentangnya. Jujur saja, semua di luar dugaan. Aku selalu mengira bahwa separuh cerita ku ada pada orang-orang terdekat, seperti misalnya teman sekolah dulu, atau teman satu perkuliahan. Tapi ternyata, orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak aku kenal.

Pagi itu, setelah rum memberikan data diri miliknya, aku membacanya dan terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah seorang pilot pada penerbangan pesawat ku tempo lalu dengan tujuan Beijing.

Di dalam data diri miliknya, ia menceritakan secara runtut tentang pertemuan kita di bandara. Bahkan, jika di ulas kembali, aku tidak akan pernah mengira semua tentangnya, karena pada saat itu ia hanya bagian hal yang sama sekali tidak ku perhatikan.

“TENTANG BEIJING, DAN KITA –  judul buku yang menarik untuk di baca. Argh, rasanya aku ingin segera berlibur untuk membaca karya mu” suaranya terdengar kembali dari balik telepon. Aku masih saja diam sembari tersenyum kecil.

“Kerja dulu, saat kamu pulang. Akan ku ceritakan langsung kepada mu” kata ku pada budi.

“Baiklah, kalau begitu aku akan focus sekarang. See you at our kingdom

Telepon pun terputus, sedangkan aku masih saja memandang hasil karya ku. Sebuah nama singkat terpajang dengan baik pada sampul novel ku yang baru saja terbit. Tania Loka, atau lebih beken dengan nama pena Ten.

 

Karya : RRJ (Riana Ratno Juwita)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar